“Kamu tuh harusnya bersyukur masih punya pekerjaan!”

“Coba deh kamu tuh mikirnya lebih positif!”

“Eh, aku tuh nggak boleh sedih! Yok bisa yok, kuat..kuat!”

Pernah nggak Parents merasa atau mendapat respons seperti itu? Gimana nih rasanya saat kita lagi sedih atau marah terus ada yang bilang kayak gitu? Kadang malah rasa sedih atau marahnya malah jadi makin besar ya! Ternyata beberapa respons dan pikiran tersebut termasuk ke dalam toxic positivity lho! Apa sih itu, kita bahas yuk!

Toxic positivity adalah perilaku menghindari, menekan, atau menolak emosi atau pengalaman negatif. Bentuknya bisa berupa mengabaikan emosi yang kita rasakan atau yang orang lain rasakan, dan memaksanya untuk berpikir positif. Tentunya tidak ada yang salah ya dengan berpikir positif, menjadi optimis, dan bersyukur, namun jika emosi negatif yang sedang kita atau orang lain rasakan terus menerus diabaikan, akan ada beberapa dampak ke depannya, misalnya:

Perilaku toxic positivity terkadang kita lakukan tanpa disadari dalam kehidupan sehari-hari. Coba yuk kita kenali perilaku seperti apa saja sih yang termasuk dalam toxic positivity

Hmmm, terus maksudnya kita nggak boleh berpikir positif nih? 

Eits, tenang! Boleh banget dong berpikir dan bersikap positif selama kepositifan itu memang otentik dan tidak bersifat toxic. Bersikap positif yang sesungguhnya adalah ketika kita mampu menemukan makna, tujuan, inspirasi, kepuasan, kebahagiaan, cinta, dan harapan ketika kita menghadapi realita kehidupan, entah realita itu baik, buruk, atau mengerikan. 

Bersikap positif yang otentik tidak didasari dengan “Semuanya baik-baik saja!” padahal kita tahu keadaan sedang tidak baik-baik saja. Yang bisa coba kita lakukan adalah berpikir “Aku sedang tidak baik-baik saja. Hal ini berat untukku. Meskipun begitu, aku bisa memilih bagaimana pola pikirku terhadap situasi ini dan bagaimana meresponsnya”. Jadi bukannya mengabaikan atau menekan emosi negatif, namun kita menerima emosi tersebut dan berusaha untuk bangkit, berani, dan bertanggung jawab dalam menghadapi peristiwa yang tidak menyenangkan

Seorang tokoh psikologi bernama Victor Frankl menyatakan bahwa kita sebenarnya dapat memilih bagaimana cara kita menghadapi tantangan dalam hidup. Kita dapat memilih rasa tidak berdaya, pesimis, putus asa, atau memilih apa yang ia sebut sebagai tragic optimism, yaitu sebuah optimisme ketika kita menghadapi tragedi atau hal tidak menyenangkan. 

Nah, gimana nih caranya untuk bisa positif ketika menghadapi masa sulit alias tragic optimism?

Lalu bagaimana untuk merespons orang lain yang sedang menghadapi masa sulit?

Jadi kesimpulannya cobalah untuk bersikap jujur terhadap apa yang sedang kita rasakan ya. Emosi kita itu nyata, valid, dan penting karena menyediakan informasi tentang apa yang terjadi pada diri kita dan bagaimana agar kita terus bertumbuh


Referensi:

Cherry, K. (2023). Toxic positivity-Why it’s harmful and what to say instead. Verywell Mind. [Artikel]. https://www.verywellmind.com/what-is-toxic-positivity-5093958#:~:text=Toxic%20positivity%20is%20the%20belief,and%20often%20falsely%2Dpositive%20fa%C3%A7ade.

Heinz, S. (2022). Why “toxic positivity” isn’t positivity at all. Psychology Today. [Artikel]. https://www.psychologytoday.com/us/blog/science-over-self-help/202212/why-toxic-positivity-isn-t-positivity-all

Psychology Today Staff. (n.d.). Toxic Positivity. Psychology Today. [Artikel]. https://www.psychologytoday.com/us/basics/toxic-positivity