Memiliki relasi pernikahan yang sehat tentunya menjadi dambaan bagi setiap pasangan. Namun terkadang untuk memiliki hubungan yang sehat dibutuhkan usaha yang tidak mudah, terlebih jika kita dan/atau pasangan tumbuh di keluarga yang disfungsional.
Keluarga adalah relasi pertama yang kita lihat dan rasakan sehingga relasi dalam keluarga akan mempengaruhi bagaimana nantinya kita menjalin relasi dengan orang lain, termasuk pasangan. Apabila Parents dibesarkan di dalam keluarga disfungsional, mungkin Parents akan melihat relasi sebagai sesuatu yang tidak aman dan terjalinlah hubungan yang tidak sehat.
Tapi tenang saja, Parents tetap bisa memiliki relasi yang sehat kok walaupun tumbuh di keluarga yang disfungsional. Hanya saja ada beberapa kemampuan yang perlu Parents latih agar tercipta hubungan yang sehat dengan pasangan. Kemampuan apa saja itu?
Membangun koneksi emosi yang kuat
Salah satu faktor penting dalam relasi yang sehat adalah seberapa tanggap dan peka kita terhadap emosi pasangan. Untuk dapat menjalin koneksi emosi, Parents perlu belajar menyampaikan kebutuhan emosi, baik secara verbal maupun fisik. Misalnya dengan mengatakan “Aku lagi pingin dimanjain nih” atau meminta pasangan untuk memberi pelukan. Selain itu Parents juga perlu belajar untuk merespon kebutuhan emosi pasangan, misalnya ketika ia butuh ditenangkan atau dikuatkan
Bersikap rapuh
Bersikap rapuh adalah kesempatan yang sangat baik untuk Parents dan pasangan untuk saling membuka diri dan menguatkan rasa percaya satu sama lain. Beberapa pertanyaan yang bisa dijadikan bahan pembicaraan antara lain:
- Apa pengalaman terbaik dan terburuk saat masih kecil?
- Kebutuhan apa yang didapat dan tidak terpenuhi dari orang tua?
- Bagaimana caranya agar kamu merasa dicintai?
- Kapan kamu merasa percaya diri? Kapan merasa insecure?
- Pengalaman apa yang paling berkesan dan berdampak dalam hidup?
Memiliki kemampuan mengelola konflik dengan sehat
Konflik adalah hal yang mutlak dan wajar dalam suatu hubungan. Oleh karena itu penting untuk belajar kemampuan mengelola konflik dengan sehat. Beberapa hal yang perlu dipelajari saat menghadapi konflik adalah:
- Komunikasi terbuka
- Mendengarkan pasangan
- Berempati, berusaha memahami masalah dari sudut pandang pasangan
- Menggunakan i-message (saya merasa …. ketika …. Saya harap…)
- Fokus untuk mencari solusi dan hindari membahas masa lalu
- Beri afirmasi dan penguatan kepada pasangan karena konflik adalah hal yang tidak menyenangkan, misalnya dengan meminta peluk atau saling menggenggam tangan
- Belajar untuk kompromi
Menghargai batasan
Salah satu ciri dari relasi yang sehat adalah saling menghargai batasan satu sama lain. Mulai dari hal kecil seperti tidak membaca email atau pesan satu sama lain, hingga memberi ruang bagi pasangan untuk menjalani peran lain (misalnya sebagai pekerja, teman, dsb).
Komunikasi terbuka
Bagi Parents yang tumbuh besar di keluarga yang penuh dengan konflik, atau sebaliknya menghindari konflik, komunikasi terbuka mungkin terasa asing dan bahkan menakutkan. Perlu diingat bahwa komunikasi adalah kemampuan sehingga dapat dilatih
Parents perlu belajar untuk mengekspresikan kebutuhan, keinginan, serta menetapkan batasan. Harap diingat ya bahwa pasangan kita tidak bisa membaca pikiran sehingga diperlukan komunikasi.
Sabar
Terkadang hubungan yang sehat terasa membosankan, terutama bagi Parents yang tumbuh di keluarga disfungsional. Ketika kita tumbuh di lingkungan yang banyak ketegangan dan keributan, sesuatu yang stabil sering dianggap membosankan. Kebosanan adalah hal yang wajar, sehat, dan aman. Jadi Parents perlu belajar untuk bersabar dalam menghadapi kebosanan.
Terkadang saat sedang lelah, menghadapi stres, atau merasa kurang sehat emosi kita lebih mudah terpicu. Untuk mendapatkan relasi yang sehat, Parents perlu belatih kesabaran untuk menghadapi emosi pasangan yang sedang tidak stabil. Tapi perlu diingat ya, bahwa kondisi emosi tidak stabil wajar apabila terjadi sesekali. Apabila terjadi terlalu sering atau terlalu intens, Parents perlu berhati-hati dan melakukan evaluasi apakah relasi tersebut masih sehat atau tidak
Belajar untuk percaya
Rasa percaya adalah karakteristik yang paling penting dalam suatu hubungan. Tanpa rasa percaya, tidak ada pondasi kuat untuk membangun intimasi secara emosi. Selain itu kita juga merasa tidak yakin dan mudah curiga kepada pasangan mengenai apapun yang ia katakan atau lakukan. Tentu tidak nyaman kan menjalani hubungan seperti itu?
Apabila Parents merasa tidak percaya pada pasangan, coba evaluasi apa penyebabnya? Apakah hal tersebut adalah kenyataan atau asumsi saja? Kira-kira apa yang bisa dilakukan untuk menambah rasa percaya Parents pada pasangan? Boleh banget ya kalau mau didiskusikan bersama pasangan
Berbagi intimasi
Intimasi dalam hal ini tidak hanya berupa intimasi dalam hubungan seksual, melainkan juga intimasi dalam kehidupan sehari-hari seperti berbagi impian, kesukaan, dan passion. Tunjukkan ketertarikan Parents terhadap apa yang sedang pasangan sukai. Selain itu intimasi juga dapat dibagi dengan melakukan ritual secara bersama-sama, misalnya minum kopi setiap pagi atau berolah raga bersama di hari minggu.
Fleksibilitas
Dalam relasi terkadang kita tidak semua keinginan kita bisa terpenuhi sehingga diperlukan kompromi. Untuk bisa berkompromi, dibutuhkan fleksibilitas dari kedua belah pihak. Dalam relasi yang sehat, kedua belah pihak mau mencoba untuk beradaptasi dan bersedia mengesampingkan ego agar didapatkan keputusan yang terbaik bagi semua pihak
Fleksibilitas juga diperlukan dalam memberi ruang bagi pasangan untuk bertumbuh. Manusia adalah makhluk yang dinamis sehingga sangat mungkin Pasangan dan pasangan akan berubah seiring berjalannya waktu, mulai dari mimpi, minat, hingga tujuan hidup. Tapi bukan berarti relasi harus berakhir atau menderita karena ini. Selama kedua belah pihak bisa bersikap fleksibel, maka akan selalu ada ruang untuk terus bertumbuh dan terbentuknya relasi yang sehat
Apresiasi
Memberi apresiasi atau pujian adalah kemampuan yang tidak kalah penting. Dengan memberi apresiasi, pasangan akan menjadi lebih senang dan merasa aman. Selain itu pasangan bersyukur karena memiliki pasangan yang baik sehingga kebahagiaan hubungan meningkat. Berikan apresiasi sederhana, misalnya mengucapkan terima kasih karena telah dimasakkan oleh istri atau memberikan pijatan kepada suami setelah pulang kerja.
Untuk bisa mendapatkan hubungan yang sehat, dibutuhkan sebuah usaha. Usaha tersebut termasuk belajar mengurangi perilaku yang disfungsional dan mempelajari kemampuan-kemampuan baru yang dibutuhkan. Perlu adanya kesediaan dari kedua belah pihak untuk memberikan usaha terbaiknya agar tercapai suatu relasi yang sehat
Referensi
Bonior, A. (2018). What does a healthy relationship look like. Psychology Today. https://www.psychologytoday.com/us/blog/friendship-20/201812/what-does-healthy-relationship-look
Gatchpazian, A. (n.d). Healthy relationship: definition, characteristics, and tips. Berkeley Well Being. https://www.berkeleywellbeing.com/healthy-relationships.html
Gillis, K. (2022). 8 elements of healthy relationship. Psychology Today. https://www.psychologytoday.com/us/blog/invisible-bruises/202208/8-elements-healthy-relationship