Parents pernah mengalami nggak tiba-tiba didiamkan oleh pasangan? Parents tidak tahu apa yang salah, tapi Parents tahu ada yang salah. Pasangan tiba-tiba menjadi lebih pendiam atau bahkan tidak berkata apa-apa. Ketika mengalami ini artinya Parents sedang di-silent treatment oleh pasangan

Silent treatment adalah sebuah cara yang dilakukan seseorang untuk membuat pasangannya merasakan rasa sakit secara emosional sebagai konsekuensi dari rasa marah yang ia rasakan. Ia mengekspresikan rasa kesalnya dengan cara-cara non verbal seperti helaan nafas yang lebih berat atau lebih panjang, menghindari kontak mata, pura-pura sibuk, menghindar, dan termasuk diam seribu kata.

Kenapa sih seseorang melakukan silent treatment?

Seseorang melakukan silent treatment karena ia merasa marah dan tidak tahu bagaimana mengekspresikannya dengan tepat. Mungkin ia adalah sosok yang memiliki kecenderungan menghindari konflik sehingga ia lebih memilih diam ketika ada masalah. Namun beberapa orang melakukan silent treatment justru sebagai cara memanipulasi pasangannya. 

 Dampak silent treatment

Ternyata silent treatment ini kurang baik lho, Parents. Kenapa? Karena silent treatment adalah cara pasif agresif dalam menghadapi suatu konflik. Cara ini tidak menunjukkan cara berkomunikasi yang sehat dan bahkan dapat membahayakan suatu hubungan. Ketika kita berada di pihak yang didiamkan, kita akan merasa tidak berdaya, tidak dihargai, frustasi, dan kesal. Hal ini wajar dirasakan karena manusia adalah makhluk sosial. Ketika kita didiamkan oleh orang lain, kita tidak dapat membaca sinyal sosial dari orang tersebut sehingga muncul perasaan tidak aman untuk menjalin hubungan dengan orang itu. 

Selain itu silent treatment juga membuat kita tidak bisa mendiskusikan dan mencari solusi dari permasalahan yang sedang dihadapi. Lama kelamaan tentunya permasalahan tersebut menumpuk dan hanya menunggu waktu hingga akhirnya seluruh permasalahan “meledak”

Terus gimana dong kalau pasangan melakukan silent treatment?

Ketika pasangan melakukan silent treatment, yang bisa dilakukan adalah mencoba untuk tidak memperparah situasi. Tetaplah tenang dan sabar, tidak perlu memaksa pasangan untuk segera merespons. Lalu Parent bisa coba menggunakan “I statement” untuk menyampaikan apa yang Parent rasakan. Misalnya dengan mengatakan “Aku sadar kalau kamu sedang mendiamkanku. Aku merasa sedih/marah/bingung ketika kamu diam seperti ini. Kita perlu mendiskusikan masalah ini agar bisa ada solusinya. Kalau sekarang kamu masih merasa marah, nggak apa-apa. Tenangkan diri dulu lalu kita bahas bareng masalah ini”


Nah, kalau Parent justru yang sering melakukan silent treatment, coba yuk lakukan ini. Kenali mengapa Parent melakukan silent treatment itu? Mungkin karena Parent merasa sulit mengelola emosi. Jika begitu, sampaikan pada pasangan bahwa Parent butuh jeda untuk menenangkan diri. Parent bisa menyampaikannya dengan lisan atau dengan gerakan yang sudah disepakati bersama (misalnya menunjukkan telapak tangan yang menandakan Parent butuh jeda). Setelah itu tenangkanlah diri terlebih dulu. Butuh waktu minimal 20 menit agar diri kita bisa menjadi lebih tenang kembali. Cara-cara yang bisa dilakukan untuk menenangkan diri misalnya membayangkan tempat yang tenang, melakukan relaksasi nafas, relaksasi otot, atau aktivitas lain yang membuat Parent merasa tenang. Jika nanti sudah lebih tenang, Parent bisa berusaha untuk membicarakan lagi masalah tersebut.

Silent treatment sebagai bentuk kekerasan

Ternyata silent treatment juga bisa menjadi salah satu bentuk kekerasan emosional lho. Diabaikan dapat memunculkan perasaan takut dan cemas, terutama bagi pasangan yang sudah sering mengalami kekerasaan. Silent treatment juga bisa menjadi bentuk manipulasi. Misalnya ketika ditanya ada apa, pasangan justru menjawab “Nggak ada apa-apa kok, kamu saja yang berlebihan!” atau “Ah, kamu doang yang ngerasa kayak gitu!” Respons ini bisa membuat pasangan merasa bersalah dan mempertanyakan pikiran, perasaan, serta peristiwa yang dialami. Parent perlu waspada ya ketika ini terjadi. Perlu diingat, bahwa kekerasan tidak hanya berbentuk kekerasan fisik saja, melainkan juga bisa berbentuk kekerasan emosional.




Referensi:

Fontes, L., A.(2020). Why the silent treatment is really about abuse and control. Psychology Today. https://www.psychologytoday.com/us/blog/invisible-chains/202009/why-the-silent-treatment-is-really-about-abuse-and-control

Risher, B. (2022). How to respond when someone gives you the silent treatment. Fatherly. https://www.fatherly.com/life/the-silent-treatment-marriage-advice