Pernah nggak Parents merasa khawatir tidak dianggap sebagai orang yang baik jika tidak melakukan apa yang orang lain inginkan? Atau mungkin ada yang merasa bahwa dengan menolak permintaan orang lain hanya akan menimbulkan pertengkaran dan konflik? 

Mungkin Parents pernah melakukannya saat bersama dengan keluarga, pasangan, teman, atau bahkan di tempat kerja. Parents berkata “Iya” meskipun sebenarnya ingin berkata “Tidak” demi menghindari interaksi yang tidak menyenangkan. Lama kelamaan muncul rasa marah dan benci kepada orang tersebut. Jika Parents mengalami ini, ada baiknya Parents belajar untuk mulai menetapkan batasan (set boundaries)

Apa sih batasan atau boundaries itu?

Boundaries adalah batasan konseptual antara kita dengan orang lain. Sederhananya, bagaimana mengenali apa yang boleh dan apa yang tidak boleh. 

Menetapkan batasan mungkin bisa diibaratkan seperti membuat kunci untuk pintu rumah. Jika pintu rumah tidak terkunci, maka siapapun bisa masuk kapan saja dan melakukan apapun yang ia inginkan. Namun sebaliknya, jika kita terus menerus mengunci pintu rumah maka kita akan menjadi terisolasi dan tidak memiliki relasi yang baik dengan orang lain. Menetapkan batasan secara sehat adalah ketika kita mampu menyeimbangkan antara kapan kita membuka diri untuk orang lain dan kapan “menutup pintu”

Membuat batasan penting dalam kehidupan sehari-hari. Secara psikologis kita menjadi lebih sehat karena tidak memendam amarah atau rasa tidak suka kepada orang lain. Kita juga terbebas dari burn out  karena tidak melakukan sesuatu yang sebenarnya tidak ingin kita lakukan. Selain itu dengan menetapkan batasan, artinya kita menghargai dan mencintai diri kita sendiri. 

Lalu bagaimana caranya menetapkan batasan?

You are worthy

Langkah pertama dengan mengenali diri dan memahami bahwa Parents adalah orang yang berharga. Seringkali kita “mengizinkan” orang lain untuk melanggar batasan karena kita berpikir bahwa kita melakukan sesuatu yang baik dan dengan itu kita menjadi sosok yang berharga. Tetapi Parents perlu memahami bahwa Parents memang berharga, sama seperti orang lain, tanpa perlu melakukan apa yang orang lain inginkan. Dan salah satu cara untuk menunjukkan bahwa Parents berharga adalah dengan berwelas asih kepada diri sendiri dan menjaga kesehatan emosional Parents

Hargai dan prioritaskan diri sendiri terlebih dulu. Ingat kan instruksi keselamatan di pesawat, sebelum menolong orang lain kita perlu menolong diri sendiri terlebih dulu. Dengan memenuhi kebutuhan kita sendiri, artinya kita menghargai diri sendiri dengan bertanggung jawab atas diri kita sendiri. Dengan begitu kita tidak merepotkan orang lain, dan bahkan bisa membantu orang lain.

Pikiran tidak berharga adalah pikiran yang dibentuk oleh diri sendiri. Maka dari itu Parents juga bisa banget mengubah pikiran itu dan menggantinya dengan pikiran yang lebih positif, misalnya I am worthy.

Tentukan batasan

Langkah selanjutnya adalah menentukan batasan. Pada setiap situasi, coba tanya kepada diri sendiri apakah Parents bertanggung jawab terhadap hal tersebut? Misalnya ketika pasangan atau anggota keluarga meminta Parents melakukan sesuatu. Tanyakan pada diri sendiri

Apakah hal tersebut tanggung jawabku? 

Apakah dengan melakukan ini akan mempengaruhi kesejahteraan mentalku?

Apakah aku akan menjadi marah atau timbul rasa benci jika bersedia melakukan ini? 

Beri kekuatan pada diri sendiri untuk menentukan pilihan. Pilihlah sesuatu yang memang benar-benar ingin Parents lakukan, bukan karena merasa harus, takut akan konsekuensi, atau merasa bahwa Parents harus melakukannya agar dianggap sebagai orang yang baik namun sebenarnya Parents merasa terpaksa melakukannya

Belajar asertif

Asertif adalah kemampuan untuk mengungkapkan apa yang dipikirkan dan dirasakan dengan terbuka dan sopan. Caranya adalah:

Misalnya Parents ingin membuat batasan mengenai frekuensi datang ke rumah orang tua atau mertua. Sampaikan dengan sopan dan tenang kepada mereka. Tidak perlu terlalu banyak meminta maaf atau memberikan penjelasan, kecuali jika mereka bertanya. Mungkin akan muncul perasaan tidak nyaman, cobalah untuk menerima emosi itu. Ingat bahwa setiap individu bertanggung jawab terhadap emosi dan perilakunya masing-masing, termasuk orang tua Parents. Mereka bertanggung jawab terhadap emosinya sendiri.

Begitu pula di konteks profesional, Parents perlu membuat batasan pekerjaan apa yang bisa dilakukan atau kapan waktu efektif bekerja. Ketika batasan tidak jelas, kita akan melakukan sesuatu yang sebenarnya tidak ingin kita lakukan, dan dapat berpengaruh terhadap kesehatan fisik dan emosional. Bahkan dapat membuat kita merasa frustasi dan memperburuk relasi dengan orang lain.

Berikut ini contoh jenis-jenis batasan dan bagaimana menyampaikannya

Waktu

Seberapa banyak waktu yang ingin dihabiskan dengan seseorang atau melakukan sesuatu. Contoh: “Aku cuma bisa nongkrong selama 30 menit”, “Aku datang ke rumah Mama seminggu sekali saja ya

Mental

Kebebasan untuk memiliki pikiran, nilai, dan pendapat. Contoh: “Aku menghargai pendapatmu meskipun aku tidak setuju”, “Terima kasih untuk sarannya tapi aku nyaman dengan caraku membesarkan anak

Emotional

Seberapa tersedianya kita secara emosi untuk orang lain. Contoh: “Aku ingin banget membantumu, tapi saat ini aku sedang merasa capek/lelah dengan masalahku sendiri

Material

Keputusan mengenai uang atau memberikan sesuatu kepada orang lain. Contoh: “Aku sudah meminjami uang kemarin, jadi aku tidak akan memberi pinjaman lagi”, “Aku juga sedang banyak kebutuhan

Conversational

Batasan topik yang ingin dibicarakan atau didiskusikan. Contoh: “Aku tidak mau ngomongin masalah ini”, “Ganti topik yang lain yuk

Fisik

Ruang privasi dan personal terkait tubuh. Contoh: “Aku merasa kurang nyaman kalau dipeluk”, “Nanti kalau aku sudah siap aku aku akan bilang ya

Internal

Terkait regulasi diri, termasuk energi yang dikeluarkan untuk orang lain dan diri sendiri. Contoh: “Minggu ini aku sangat sibuk, jadi aku mau bersantai ketika weekend.” 


Self love

Seseorang yang kesulitan menetapkan batasan mungkin memiliki pengalaman kurang menyenangkan yang membuat ia berpikir ia akan dibenci atau ditinggalkan orang lain jika menolak permintaan orang lain. Maka “perilaku baik” yang ia lakukan dilandasi oleh rasa takut bukan karena keikhlasan dan ketulusan. 

Salah satu pengalaman kurang menyenangkan yang bisa terjadi adalah mengalami kekerasan saat masih menjadi anak. Anak mungkin merasa marah terhadap pelaku kekerasan. Namun ia merasa tidak aman untuk menunjukkan rasa marahnya, sehingga ia akan menyembunyikan emosinya dan justru merasa bahwa ia pantas mendapatkan kekerasan karena ia bersalah, tidak berharga, dan tidak pantas dicintai. Akhirnya anak tersebut pun mulai membenci dirinya sendiri hingga dewasa.

Seseorang yang membenci dirinya, akan merasa sulit menjaga diri dengan baik, termasuk menetapkan batasan. Maka dari itu untuk bisa menetapkan batasan Parents perlu belajar untuk lebih sayang dan berdamai dengan diri sendiri




Referensi

Nash, J. (2018). How to set healthy boundaries & build positive relationship. Positive Psychology. https://positivepsychology.com/great-self-care-setting-healthy-boundaries/

Nitka, D. (2017). The importance of setting boundaries. https://connectepsychology.com/en/2017/05/16/the-importance-of-setting-boundaries/#:~:text=So%20what%20are%20boundaries%3F,adult%20is%20responsible%20for%20themselves

Richmond, R. L. (2022). Boundaries. https://www.guidetopsychology.com/boundaries.htm