Sebagai orang tua tentu kita punya keinginan untuk selalu melindungi anak kita dari segala bahaya dan masalah. Kalau bisa, rasanya ingin anak-anak kita kekep di rumah supaya terus aman. Namun sayangnya kita tidak bisa melakukan itu. Yang bisa orang tua lakukan adalah menyiapkan mereka untuk bisa bertahan dari segala tantangan dan masalah yang akan dihadapi. Salah satu kemampuan yang perlu disiapkan untuk anak adalah resiliensi
Resiliensi atau bisa juga disebut sebagai daya lenting adalah kemampuan untuk kembali bangkit setelah mengalami kejadian yang tidak menyenangkan. Seseorang yang resilien akan tetap mengalami dan merasakan emosi negatif, namun ia bisa mengelolanya dengan baik serta mampu bangkit kembali untuk melanjutkan hidupnya
Kenapa resiliensi penting?
Dalam kehidupan sehari-hari, anak anak kita akan menghadapi banyak tantangan, mulai dari bertengkar dengan teman, kecewa dengan hasil ujian, atau kalah dalam suatu pertandingan. Beberapa anak bahkan menghadapi tantangan yang lebih berat misalnya perceraian orang tua, kematian salah satu anggota keluarga, atau bullying. Beberapa anak lain memiliki tantangan lain misalnya memiliki disabilitas, masalah kesehatan, dan sebagainya. Kemampuan resiliensi penting dimiliki sehingga anak dapat mengatasi tantangan-tantangan tersebut
Resiliensi juga berkaitan erat dengan kesehatan mental. Ketika anak mampu menghadapi pengalaman negatif dengan baik, anak dapat terhindar dari resiko mengalami depresi, gangguan kecemasan, dan masalah psikologis lainnya. Selain itu anak yang memiliki kemampuan resiliensi juga terhindar dari resiko menggunakan cara penyelesaian masalah yang tidak tepat seperti penyalahgunaan napza, menyakiti diri sendiri, gangguan makan, dan sebagainya
Bagaimana caranya membangun resiliensi untuk anak?
American Academy of Pediatrics merangkum cara-cara yang bisa dilakukan untuk meningkatkan resiliensi anak dengan 7C. Apa saja 7C itu?
Confidence (percaya diri)
Ketika anak memiliki kepercayaan diri yang baik, ia akan percaya bahwa ia akan mampu menghadapi rintangan dan tantangan. Ia akan berusaha untuk menghadapi tantangan dan tidak takut dengan kegagalan. Anak juga akan melihat kegagalan sebagai kesempatan untuk tumbuh. Rasa percaya diri anak muncul dari lingkungan di sekitar anak yang mampu menghargai segala usaha yang diberikan oleh anak ketika ia mengerjakan sesuatu. Jadi Parents tidak perlu terpaku dengan hasil saja, melainkan puji usaha yang ditunjukkan oleh anak ya
Competence (Kompetensi)
Anak perlu diajarkan kemampuan yang dibutuhkan untuk menghadapi dunia. Misalnya kemampuan komunikasi, membela diri, bernegosiasi, bekerja sama, mengambil keputusan, dan sebagainya. Parents bisa melatih kemampuan-kemampuan tersebut dengan menjalin komunikasi terbuka dengan anak. Hargai pendapat anak dan hindari merasa selalu paling benar. Dengan begitu anak menjadi tidak sungkan untuk melatih kemampuan negosiasi, mengambil keputusan, dan kemampuan lainnya yang dibutuhkan.
Connection (Koneksi)
Dengan adanya koneksi yang mendalam dengan orang tua (atau pengasuh), anak akan menjadi lebih mudah bangkit dari tantangan yang dihadapi karena ia merasa ada orang-orang yang selalu mendukung dan menerimanya. Ketika anak memiliki koneksi mendalam dengan orang tua, ia akan lebih mudah untuk menjalin koneksi dengan orang lain. Dengan begitu anak akan memiliki dukungan sosial yang lebih banyak ketika ia menghadapi suatu kesulitan
Parents bisa menjalin koneksi mendalam dengan membantu anak mengekspresikan emosinya. Beri ia kesempatan mengekspresikan emosi yang dirasakan, baik emosi positif maupun negatif. Terima semua emosi tersebut dan jelaskan bahwa apa yang ia rasakan valid. Yakinkan pula kepada anak bahwa perasaan tidak nyaman yang ia rasakan pasti akan berlalu
Character (Karakter)
Anak perlu memiliki landasan nilai yang kuat serta pemahaman yang baik mengenai dirinya sendiri. Orang tua perlu menanamkan nilai-nilai untuk membentuk karakter anak, misalnya kejujuran, empati, pantang menyerah, dan sebagainya. Cara terbaik untuk menanamkan nilai tentunya dengan memberi teladan kepada anak. Parents perlu memberi contoh langsung perilaku apa yang diharapkan ada pada anak
Parents juga perlu membantu anak memahami dirinya. Hal ini dapat dilakukan dengan membantu anak mengenali kekuatan mereka. Ketika anak memahami kelebihan yang ia miliki, maka ia bisa menggunakan kekuatan tersebut untuk menghadapi tantangan di masa mendatang
Contribution (Kontribusi)
Anak perlu merasa dibutuhkan sehingga ia merasa punya makna dan tujuan dalam hidupnya. Beri anak kesempatan untuk berkontribusi dalam kehidupan sehari-har, tentunya dengan menyesuaikan tahap perkembangan anak. Semakin tinggi usia anak, Parents bisa memberikan tanggung jawab yang lebih besar pula. Namun jangan lupa untuk berdiskusi dengan anak terlebih dulu ya, apakah ia menyanggupi tugas itu atau tidak. Jangan lupa juga untuk memberi apresiasi atas usaha yang anak lakukan untuk berkontribusi di dalam keluarga
Coping
Ketika menghadapi suatu tantangan, kita perlu mencari cara bagaimana mengendalikan diri agar kita dapat melaluinya dengan tenang. Parents perlu mengajarkan strategi coping yang tepat kepada anak. Beberapa cara yang bisa diajarkan kepada anak untuk adalah:
- Berlatih bersyukur dengan cara sebelum tidur, ajak anak untuk mencari 3 hal yang patut disyukuri di hari itu
- Ajak anak untuk mengatur nafas, yaitu menarik nafas panjang dan hembuskan perlahan
- Mengajarkan self compassion. Misalnya ketika anak mengalami kegagalan dan memiliki pandangan negatif tentang dirinya sendiri, ajak anak membayangkan apa yang akan ia katakan kepada temannya ketika temannya mengalami hal yang sama dengannya.
- Ajak anak menulis atau menggambar untuk mengekspresikan emosinya
- Ajak anak mencari cara yang tepat untuk menenangkan diri, misal dengan berolahraga, mendengarkan musik, melakukan hobi, dan sebagainya
- Ajak anak mengenali emosinya. Misalnya dengan mengenali emosi apa yang ia rasakan dan mengukur dari 0-10 seberapa intens emosi tersebut
Control (Kendali)
Beri kesempatan kepada anak untuk memegang kendali dalam hidupnya. Dengan begitu ia akan belajar bahwa segala pilihan yang ia ambil memiliki konsekuensi dan ia bertanggung jawab untuk menerima konsekuensi tersebut.
Cara yang bisa dilakukan oleh orang tua adalah dengan mendengarkan anak dengan penuh empati ketika ia sedang menceritakan masalahnya. Lalu beri kesempatan kepada anak untuk mencari solusi dari permasalahannya sendiri. Apabila anak mengambil keputusan yang kurang tepat, jadikan kesalahan tersebut sebagai bahan pembelajaran agar anak tidak mengulanginya di masa mendatang
Resiliensi adalah kemampuan yang bisa dipelajari. Bukan berarti dengan resiliensi anak tidak akan pernah merasakan emosi negatif. Namun dengan kemampuan resiliensi yang baik anak bisa bangkit dari keterpurukan dan melanjutkan hidupnya.
Referensi:
Alvord, M. K., Gurwitch, R., Martin, J. & Palomares, R. S. (2020). Resilience for teens: 10 tips to build skills on bouncing back from rough times. American Psychological Association. [Artikel]. https://www.apa.org/topics/resilience/bounce-teens
Anonim. (2023). Building resilience in children and teens. Newport Academy. [Artikel]. https://www.newportacademy.com/resources/well-being/resilience-in-teens/#:~:text=Parents%20can%20help%20build%20resilience,based%20ways%20to%20increase%20resilience.
Ginsburg, K. (2018). Building resilience: The 7C’s. Parent and Teen. [Artikel]. https://parentandteen.com/building-resilience-in-teens/