Memberikan dukungan emosi kepada pasangan adalah suatu hal yang wajar, dan bahkan sangat penting di dalam suatu hubungan. Ketika kita sedang merasa tertekan atau down, pasangan dapat berempati dan memberikan rasa nyaman yang kita butuhkan dengan mendengarkan pikiran dan perasaan kita. Namun ada kalanya meminta dukungan kepada pasangan menjadi berlebihan dan menyebabkan munculnya ketergantungan emosi. Kali ini kita akan membahas mengenai apa itu ketergantungan emosi?
Mari kita bayangkan mendapatkan dukungan emosi sebagai sebuah spektrum
Emotional independence adalah suatu kondisi ketika seseorang menolak segala dukungan sosial dan lebih memilih untuk mengelola emosinya sendiri, meskipun terkadang ia harus mengabaikan atau mengelola emosi dengan cara negatif
Emotional interdependent berada di tengah spektrum, yaitu kondisi ketika seseorang mampu menyadari kebutuhan emosinya dan berusaha untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Apabila ia tidak dapat memenuhinya sendiri, ia akan meminta bantuan dari orang lain, termasuk dari pasangan.
Sedangkan emotional dependence adalah kondisi ketika seseorang terlalu mengandalkan orang lain untuk memenuhi semua kebutuhan emosinya. Ketika ia sedang tertekan, ia langsung meminta bantuan orang lain tanpa berusaha untuk mengelola emosinya sendiri terlebih dahulu.
Beberapa tanda lain dari seseorang yang mengalami ketergantungan emosi adalah:
- Meyakini bahwa hidupnya tidak bermakna tanpa pasangan atau orang lain
- Meyakini bahwa ia tidak bisa merasa bahagia atau aman tanpa orang lain
- Adanya rasa takut ditolak secara terus menerus
- Selalu butuh untuk ditenangkan atau diyakinkan
- Merasa hampa ketika sendiri
- Membutuhkan orang lain untuk membangun rasa percaya diri dan rasa berharga
- Mudah merasa cemburu dan posesif
Beberapa dampak dari ketergantungan emosi adalah:
Masalah relasi
Ketergantungan emosi adalah salah satu ciri relasi yang tidak sehat karena ia membutuhkan dukungan dan penguatan secara terus menerus dari pasangannya. Mungkin ia akan sering bertanya
“Kamu sayang aku nggak?”
“Aku ganggu nggak?”
“Aku cantik/ganteng/menarik nggak?”
Pertanyaan-pertanyaan tersebut muncul karena adanya keraguan dalam diri (self doubt) dan perasaan tidak aman (insecurity) sehingga ia butuh untuk selalu diyakinkan oleh pasangan. Lalu muncullah perasaan takut jika pasangan meninggalkannya atau berhenti memenuhi kebutuhan emosinya. Rasa takut tersebut dapat memicu munculnya perilaku ingin selalu mengontrol pasangan agar pasangan tetap dapat terus bersamanya
Namun sayangnya berusaha mengendalikan orang lain justru dapat menimbulkan efek negatif. Pasangan akan merasa terlalu terikat dan terkekang sehingga ingin keluar dari hubungan dan akhirnya hubungan berakhir
Stres
Ketergantungan emosi juga dapat memicu stres karena adanya perasaan cemas secara terus menerus mengenai masa depan hubungan. Seseorang yang tergantung secara emosi akan terus menerus bertanya apakah pasangannya masih mencintainya atau apakah ia akan ditinggalkan. Lama kelamaan pikiran tersebut akan berpengaruh terhadap kehidupan sehari-hari, misalnya:
- Perubahan mood secara tiba-tiba
- Mudah marah, misalnya menjadi lebih agresif baik secara fisik maupun verbal
- Mudah sedih, misalnya menjadi sering menangis
- Simtom fisik, seperti otot tegang, pusing, gangguan pencernaan, dsb
Kurang merawat diri sendiri
Ketika seseorang terlalu bergantung pada pasangannya, ia kehilangan kesempatan untuk menemukan cara bagaimana memberi dukungan pada dirinya sendiri. Selain itu, ketika ia merasa tertekan dan tidak mendapatkan dukungan dari orang lain, ia menjadi kesulitan untuk menikmati suatu aktivitas dan merawat dirinya sendiri
Lalu bagaimana cara untuk mengatasinya?
Berusaha lebih nyaman dengan emosi
Langkah awal untuk memenuhi kebutuhan emosi adalah dengan mengenali dan memahami emosi kita terlebih dahulu. Mungkin terasa sulit ya untuk menerima emosi yang tidak menyenangkan, namun kita perlu memahami bahwa emosi negatif juga perlu diterima.
Emosi negatif muncul untuk mengkomunikasikan sesuatu. Misalnya emosi sedih artinya kita kehilangan sesuatu yang berharga, kecewa artinya kita tidak mendapatkan sesuatu seperti yang diharapkan, dan marah menandakan ada suatu hak atau nilai kita yang dilanggar. Jadi ketika Parents merasakan suatu emosi negatif, coba tanyakan pada diri sendiri “Mengapa emosi ini muncul? Apa yang ingin dikomunikasikan oleh emosi ini?”
Penuhi kebutuhan emosi
Ketika sedang tertekan atau mengalami emosi negatif, Parents bisa mencoba untuk memenuhi kebutuhan emosi itu secara mandiri terlebih dulu. Misalnya dengan menulis jurnal, melakukan hal yang membuat rileks, atau merawat diri (self care). Apabila cara tersebut masih belum memenuhi kebutuhan, barulah Parents meminta dukungan emosi kepada pasangan
Pahami pemicu
Coba untuk kenali pemicu munculnya perilaku bergantung. Misalnya Parents mengalami tekanan dalam pekerjaan, Parents melakukan kesalahan, atau Parents merasa diabaikan ketika pasangan menghabiskan waktu dengan orang lain. Dengan mengenali pemicu, Parents bisa mencari cara coping yang lebih sehat, misalnya dengan melakukan afirmasi positif untuk mengingatkan diri mengenai kelebihan yang Parents miliki atau melakukan self talk bahwa pasangan juga membutuhkan waktu untuk bersosialisasi dengan orang lain
Berkonsultasi dengan tenaga profesional
Terkadang ketergantungan emosi dapat berakar dari pengalaman masa kecil. Kurangnya kelekatan emosi yang aman dengan orang tua atau anggota keluarga dapat berdampak terhadap permasalahan kelekatan di masa dewasa. Berkonsultasi dengan tenaga professional mungkin dapat membantu Parents untuk mengenali dan mengatasi pola ini. Parents dapat juga mendiskusikan bagaimana cara yang tepat untuk meningkatkan rasa percaya diri, mengatasi pikiran negatif, dan lebih menyayangi diri sendiri
Referensi:
Raypole, C. (2020). How to recognize and work through emotional dependency. Healthline. [Artikel]. https://www.healthline.com/health/emotional-dependency#overcoming-it